Mendengar kata “Udik”, saya teringat pada dua perempuan tua (nenek-nenek) yang berdagang alat-alat kebutuhan rumah tangga di kampung kami ujung malang, seperti tampah, kukusan, bakul dan tiker pandan. Tidak hanya itu, disaat kampung perempuan tua tersebut sedang musim buah-buahan, mereka juga menyelipkan disela-sela dagangan utamanya beberapa bungkus jengkol muda, pete dan lalapan daun mede muda, kadang mereka juga membawa duren dan rambutan yang dia petik dari kebunnya. Seluruh dagangan biasanya diletakan diatas tampah dan dijunjung diatas kepalanya kecuali yang sudah tidak tertampung diatas tampah, maka di jinjing/tenteng/pegang dagangan tersebut, sambil menjajakan dari rumah ke rumah (door to door) dengan berjalan kaki.
Kedua perempuan tua tersebut dipanggil dengan panggilan mpeng Gambreng dan Mpeng Kubil. Konon kedua orang tersebut masih bersaudara. Sepengetahuan kami, Mpeng Gambreng lah yang pertama kali berdagang alat rumah tangga seperti itu dikampung kami, sedangkan Mpeng Kubil pada waktu itu masih sebagai semacam asisten yang membantu Mpeng Gambreng berdagang, setelah Mpeng Gambreng sudah cukup tua maka cara dagang seperti itu digantikan oleh Mpeng Kubil. Berdasarkan informasi, ternyata kedua orang tersebut bertempat tinggal cukup jauh dari kampung kami yaitu di Kampung Ciketing. Jarak antara Kampung tersebut dengan ujung malang + 15 KM dan kami biasa menyebut kampung Ciketing dengan sebutan ”Udik”.
Kita tidak akan bercerita etos kerja orang udik, tetapi justru kata udik itu sendiri yang menarik bagi saya untuk mengetahui lebih dalam mengapa orang-orang ujungmalang khususnya dan umumnya orang-orang yang berada di wilayah utara bekasi menyebut daerah tersebut dengan sebutan Udik.
Sebetulnya kata ”Udik”, tidak hanya populer di kampung kami saja, tetapi juga diwilayah kecamatan Babelan dan kemungkinan di kecamatan-kecamatan lain yang berada diwilayah utara Bekasi. Bagi kami, kata tersebut juga tidak hanya sebutan untuk daerah Ciketing saja, tetapi ada juga beberapa daerah di Bekasi yang kami sebut dengan kata ”Udik”, seperti daerah Cikunir, kranggan, Bantar Gebang, Setu, Bintara dan lain sebagainya. Dulu saya mengira yang disebut orang-orang ”Udik” adalah orang-orang yang berasal dari daerah yang tanahnya berwarna merah. Daerah yang tanahnya merah biasanya banyak menghasilkan buah-buahan seperti rambutan, duren, duku, kecapi dan lain sebagainya. Ternyata dugaan saya salah, karena ternyata banyak daerah di Bekasi yang tanah merah tidak kami sebut ”Udik”.Menurut kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ”Udik” diartikan, 1) sungai yang sebelah atas (arah dekat sumber), (daerah) di hulu sungai, 2) desa, dusun, kampung (lawan kota), 3) kurang tahu sopan santun, canggung (kaku) tingkah lakunya, bodoh.
Memang kalau kita melihat pengertian pertama kata udik dari kamus tersebut, kami yang ada diutara melihat letak daerah yang disebut ”udik” berada di hulu sungai Bekasi, akan tetapi bagi masyarakat daerah kami, tidak semua daerah yang berada di hulu sungai bekasi disebut udik, seperti misalnya Pekayon dan malah daerah bintara yang tidak terlalu dekat sungai kami sebut juga dengan udik.
Kalau melihat sejarah Bekasi masa lalu, nampaknya pengertian kedua dan ketiga yang dimaksud kamus tersebut lah yang lebih mendekati kebenaran.
Wilayah Utara Bekasi Masa Kerajaan
Pada masa zaman kerajaan, pantai dan sungai merupakan sarana transportasi yang utama untuk melakukan berbagai aktivitas seperti perdagangan maupun aktivitas lainnya, begitu juga dengan Bekasi wilayah Utara sebagai daerah yang memiliki pantai dan sungai bekasi serta merupakan bagian pesisir utara Jawa. Sugeng Riyanto dan Libra Hari Inagurasi (dari Pusat Penelitian Arkeologi), dalam makalahnya (berjudul ”Teteh atau Mpok? Bekasi: antara Masa Islam Awal Hingga Hindia Belanda) mempunyai catatan penting:
1. Pada kurun abad XVII masa kesultanan Mataram, terjadi pengiriman 100 orang oleh Kepala Wilayah Jepara untuk membangun ”sebuah negeri”, mengerjakan sawah, menanam padi, menebang kayu dan bambu. Karena letaknya ditepi sungai Bekasi, tempat ini dianggap cocok untuk mengangkut barang-barang ke Batavia dan menjualnya kepada Kompeni. Orang-orang jawa tersebut tidak pernah kembali ketempat asalnya (menetap di Bekasi).
2. Untuk itu pembantu Letnan Frederick Muller yang berkedudukan di Batavia bersama 10 orang prajurit kompeni dan 50 orang jawa, melakukan penyisiran di Sungai Bekasi untuk melakukan penangkapan. Disini mereka mendapatkan tempat dimana orang-orang jawa mulai membangun sebuah desa.
Sebetulnya pengiriman tersebut merupakan bagian politik ekspansi Mataram ke Batavia yang telah di mulai sejak tahun 1628. Pada pada penyerangan pertama (1628), pasukan Mataram dipimpin oleh Tumenggung Baureksa dari kendal. Sedangkan penyerangan kedua (1629) di pimpin oleh Tumenggung Sura Agul-Agul . Ribuan pasukan angkatan laut Mataram pada waktu itu mengepung kota Batavia dan berusaha membendung sungai Ciliwung sebagai strategi untuk melumpuhkan transportasi pasukan Batavia. Cara ini dilakukan untuk menciptakan teror, rasa ketakutan bagi tentara Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen.
Pengepungan dan pembendungan sungai ciliwung memakan waktu cukup lama dan menguras tenaga pasukan cukup besar. Sementara suplay makan yang dipasok dari sepanjang daerah pesisir, banyak dihancurkan oleh tentara Batavia, sehinggga pasokan makanan untuk tentara Mataram makin berkurang. Kondisi ini membuat mental pasukan turun. Stategi pengepungan kota Batavia, untuk memberi efek ketakutan dan kelelahan pada tentara Batavia, ternyata justru yang terjadi sebaliknya. Banyak dari tentara Mataram yang kelaparan dan kelelahan dan penyerangan ke benteng Batavia pun dilakukan secara sporadis. Penyerangan seperti itu dengan mudah dipatahkan oleh tentara Batavia. Banyak prajurit yang gugur baik dalam penyerangan pertama (termasuk Tumenggung Baureksa ) maupun kedua.
Akhirnya prajurit yang masih hidup mundur kembali ke masing-masing daerah seperti Priyangan, Cirebon, tegal dan Mataram. Banyak juga prajurit yang kembali ke Mataram dan menerima hukuman mati dari Sultan Agung termasuk Tumenggung Sura Agul-Agul (lihat H.J. De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram, Politik Ekspansi Sultan Agung, Pustaka Pelajar Yogyakarta, Cet. Ketiga, 2002) sedangkan sebagian prajurit Mataram yang lain, karena takut di hukum mati tidak kembali ke Mataram, tetapi tinggal menetap didaerah sepanjang pesisir termasuk di Bekasi.
Bekasi di bawah Hindia Belanda Sampai kemerdekaan.
Letak Bekasi yang berada antara sungai Citarum disebelah timur dan Batavia/Sunda Kelapa sebelah barat, merupakan daerah penghubung yang sering dilintasi lalu lintas pelayaran untuk berbagai kegiatan, baik perdagangan sampai daerah penyuplai makanan prajurit Mataram. Sebagai daerah pertanian yang subur, Bekasi merupakan salah satu penghasil beras, makanan pokok yang banyak dibutuhkan daerah lain, sehingga tidak hanya pantai Bekasi sebagai daerah perlintasan yang penting tetapi juga sungai Bekasi. Sungai ini merupakan sarana transportasi utama mengangkut hasil pertanian. Dengan letak startegis sepert ini membuat banyak orang dari berbagai daerah bermigrasi ke Bekasi, membuka hutan dan membuat perkampungan baru didaerah aliran sungai. Dan memang orientasi pemukiman pada masa awal lebih banyak di daerah dekat Pantai dan Sungai, maka tidak aneh banyak kosa kata masyarakat Bekasi yang bercampur dengan bahasa jawa, sunda dan lain-lain.
Pada masa peralihan dari kongsi dagang VOC ke Pemerintahan Hindia Belanda tahun 1799, Bekasi merupakan suatu wilayah Administrasi Distrik (kawedanan), bagian dari afdeling (kabupaten) Meester Cornelis, keresidenan Batavia (Sugeng Riyanto dan Libra Hari Inagurasi). Untuk memenuhi kebutuhan keuangan Pemerintah Hindia Belanda, tanah-tanah yang berada di Bekasi, di jual kepada tuan Tanah, termasuk tanah-tanah yang berada di wilayah Utara bekasi, maka hektaran tanah pertanian di wilayah tersebut di miliki tuan tanah China, sedangkan masyarakat Bekasi sendiri sebagian besar hanya sebagai pembantu atau bujang saja.
Pemerintah Hindia Belanda berdalih, pada zaman kerajaan rakyat tidak mempunyai tradisi kepemilikan tanah, tanah yang didiami dan di usahakan oleh rakyat dimilik oleh raja sebagai pemegang kekuasaan mutlak, sehingga apabila sebuah kerajaan telah ditaklukan, maka kekuasan mutlak pun beralih kepada yang menaklukan, begitu juga dengan kepemilikan tanah. Dengan dalih seperti inilah Pemerintah Hindia Belanda mengambil alih tanah-tanah rakyat, tidak terkecuali tanah-tanah yang ada di Bekasi. Kondisi ini baru berakhir setelah Indonesia merdeka, khususnya setelah diberlakukannya Undang-undang No. 5 Tahun 1960, tentang Agaria dengan isu sentralnya land reform.
Wilayah Utara Bekasi sebagai penghasil padi/beras dan menjadi pusat-pusat pemukiman, telah terbentuk sejak lama. Berbeda dengan wilayah selatan bekasi. Saat itu daerah selatan merupakan daerah yang tidak cocok menjadi tempat pemukiman karena ketiadaan sarana transportasi, kalaupun ada yang tinggal disana, mereka hanya budak/pembantu yang didatangkan oleh tuan tanah untuk menanam dan memelihara perkebunan karet. Dalam literatur sejarah, daerah yang tidak dekat dengan pantai disebut dengan daerah pedalaman. Daerah selatan Bekasi mulai ramai menjadi perkampungan penduduk diperkirakan setelah adanya perubahan orientasi transportasi dari pantai/sungai ke darat, yaitu setelah di bangunnya jaringan rel kereta api oleh Jawatan Kereta Api Hindia Belanda pada tahun 1890.
Namun, walaupun orientasi transportasi pantai dan sungai telah digantikan oleh rel kereta api dan jalan darat, tetapi pamor wilayah utara Bekasi sebagai penghasil beras/padi sampai tahun 70-an, masih tetap kesohor. Pada masa itu kemajuan ekonomi masyarakat utara lebih maju dibanding dengan orang udik-udik, hal itu terlihat saat musim menanam atau motong padi, banyak orang-orang yang berasal dari Cikunir, kranggan, Bantar Gebang, Setu, Bintara yang biasa kami sebut orang-orang udik, berdatangan ke wilayah utara Bekasi seperti Babelan, Taruma Jaya, Cabang Bungin. Mereka kuli menanam (nandur) dan memotong padi dengan cara nglajo atau derep. Malah tidak sedikit mereka yang nglajo dan derep mendapat jodoh dan kawin dengan orang di wilayah kami.
Seiring dengan kemajuan zaman, jalan raya (darat) sudah menjadi andalan tranpsortasi utama dan jalan tol pun dibangun untuk meningkatkan akselerasi aktivitas masyarakat, maka pusat-pusat industri, perdagangan dan pemukiman pun dibangun dan berdiri megah mengikuti permintaan yang makin meningkat, lalu dalam waktu yang tidak terlalu lama daerah udik pun berubah gagah. Sementara wilayah utara Bekasi yang dulu pernah menjadi primadona, makin lama makin tua, ringkih, kumuh, dekil dan sudah tidak menarik lagi. Sungai bekasi yang dulu airnya jernih dan pernah kesohor menjadi andalan tranportasi serta sumber pengairan pertanian dan tempat mencari ikan masyarakat, kini hanya menjadi tempat pembuangan limbah industri dan airnya berubah menjadi menjadi hitam. Tidak ada lagi masyarakat yang mengambil air dan mencari ikan di sungai tersebut.
Dengan kondisi inilah masyarakat bekasi wilayah utara kehilangan sumber mata pencarian. Kalau dulu banyak orang udik yang mencari menafkah ke wilayah utara, tetapi sekarang justru sebaliknya, banyak orang-orang dari wilayah utara mencari nafkah kewilayah selatan (Udik) seperti berjualan beras, sayuran dsb,. Walau kemajuan dan kesejahteraan masyarakat wilayah selatan telah jauh meninggalkan masyarakat utara, akan tetapi tetap saja pada saat orang-orang tua diwilayah kami akan pergi ke daerah seperti kranggan, Cikunir, ciketing, maka mereka akan mengatakan mau pergi ke Udik.